Selasa, 04 November 2014

APAKAH OBJEKTIVITAS DAN SUBJEKTIVITAS BERTENTANGAN?

Objektivitas dan Subjektivitas berkaitan dengan apa-apa yang ada di dalam dan diluar pikiran manusia. Dalam pemahaman ini, objektivitas berarti hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran atau persepsi manusia. Sedangkan subjektivitas adalah fakta yang ada di dalam pikiran manusia sebagai persepsi, keyakinan dan perasaan. Pandangan objektif akan cenderung bebas nilai sedangkan subjektif sebaliknya. Keduanya memiliki kelebihan-kekurangannya.
Dalam tradisi ilmu pengetahuan objektivitas akan menghasilkan pengetahuan kuantitatif sedangkan subjektivitas akan menghasilkan pengetahuan kualitatif. Misalnya kita mengukur meja dengan tinggi 2 meter, ini adalah fakta objektif. Persepsi seseorang tentang meja yang sedang kita ukur akan sangat beragam, misalnya menganggap meja jelek, sedang, atau bagus. Nilai yang dihasilkan oleh penelitian secara objektif menghasilkan kebenaran tunggal, untuk kemudian akan runtuh jika ada hasil lain yang menunjukkan perbedaan. sementara penelitian secara subjektif cenderung majemuk, amat bergantung pada konteks.[1]
Pemikiran yang mendasari objektivisme berdasarkan pada kejadian yang sesungguhnya, sedangkan subjektivisme berdasarkan pada pendapat orang tersebut bahwa sesuatu “ada” karena dianggap hal tersebut memang “ada”.  Namun demikian, menurut dualisme cartesian atau idealisme metafisik kedua hal ini tidak bertentangan.  Anton Bakker SJ dalam bukunya Antropologi Metafisik mengatakan, “Keduanya tidak saling bertentangan, melainkan saling memuat dan saling mengkonstitusikan.  Jikalau entah subyektivitas atau obyektivitas berstatus kurang, maka seluruh pengertian dan penghendakan berkurang pula.”[2]  Artinya baik obyektivitas maupun subyektivitas bukanlah suatu hal yang saling bertentangan melainkan dua hal yang berbeda hakikatnya.  Hal yang serupa juga diutarakan oleh Budi Munawar Rachman, “Dengan demikian, objektivitas dan subjektivitas bukanlah dua entitas yang saling bertentangan, misalnya secara psikologis. Namun, keduanya merupakan dialektika yang berjalan konstan dalam diri manusia,..”[3]
Memahami lebih jauh mengenai subyektivitas, James Rachel mengatakan bahwa pemikiran dasar di balik subyektivitas adalah suatu gagasan bahwa pendapat-pendapat moral didasarkan pada perasaan-perasaan.  “Orang mempunyai pandangan yang berbeda-beda, tetapi dimana ada perkara moral, di situ “fakta” tidak ada dan tak seorangpun benar.  Orang-orang mempunyai perasaan berbeda begitu saja, dan itulah akhir dari perkaranya.”[4]  Masing-masing orang memiliki penilaian yang berbeda-beda tentang suatu kejadian.  Penilaian itu didasarkan pada setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka.  Masalah setuju atau tidak setuju inilah yang dinamakan subyektivitas.  “Kalau seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik atau buruk secara moral, itu berarti bahwa ia menyetujui  atau tidak menyetujui hal itu, dan tak lebih dari ini.”[5]
Subyektivitas tidak dapat menerangkan keadaan real karena hal itu menyangkut pengalaman pribadi atau perasaan sendiri yang hanya dialami oleh seseorang itu.  Sedangkan objektivitas merupakan suatu keadaan real yang disertai dengan fakta dan bukti-bukti yang dapat dinilai secara empiris.  Pengetahuan yang benar disebut objektif.  Pengetahuan bersifat objektif kalau manusia membiarkan kenyataan menyatakan diri. "Membiarkan kenyataan menyatakan diri" tidak berarti bahwa subjek pasif saja.[6]



DAFTAR PUSTAKA


Anton Bakker, Antropologi Metafisik, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006)
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: wacana kesetaraan kaum beriman, (TKT: Srigunting, 2004)

By Adelbert Snijders, Seri Pustaka Filsafat Manusia dan Kebenaran,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006)

James Rachel, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004)



[2] Anton Bakker, Antropologi Metafisik, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), hlm. 182.
[3] Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: wacana kesetaraan kaum beriman, (TKT: Srigunting, 2004), hlm 509.
[4] James Rachel, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 72.
[5] Ibid., hlm. 74

[6]  By Adelbert Snijders, Seri Pustaka Filsafat Manusia dan Kebenaran,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), hlm 157.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar