APAKAH
OBJEKTIVITAS DAN SUBJEKTIVITAS BERTENTANGAN?
Objektivitas dan
Subjektivitas berkaitan dengan apa-apa yang ada di dalam dan diluar pikiran
manusia. Dalam pemahaman ini, objektivitas berarti hal-hal yang bisa diukur
yang ada di luar pikiran atau persepsi manusia. Sedangkan subjektivitas adalah
fakta yang ada di dalam pikiran manusia sebagai persepsi, keyakinan dan
perasaan. Pandangan objektif akan cenderung bebas nilai sedangkan subjektif
sebaliknya. Keduanya memiliki kelebihan-kekurangannya.
Dalam tradisi ilmu
pengetahuan objektivitas akan menghasilkan pengetahuan kuantitatif sedangkan
subjektivitas akan menghasilkan pengetahuan kualitatif. Misalnya kita mengukur meja dengan tinggi 2
meter, ini adalah fakta objektif. Persepsi seseorang tentang meja yang sedang
kita ukur akan sangat beragam, misalnya menganggap meja jelek, sedang, atau
bagus. Nilai yang dihasilkan oleh penelitian secara objektif menghasilkan
kebenaran tunggal, untuk kemudian akan runtuh jika ada hasil lain yang
menunjukkan perbedaan. sementara penelitian secara subjektif cenderung majemuk,
amat bergantung pada konteks.[1]
Pemikiran yang mendasari objektivisme berdasarkan pada kejadian yang sesungguhnya,
sedangkan subjektivisme
berdasarkan pada pendapat orang tersebut bahwa sesuatu “ada” karena dianggap
hal tersebut memang “ada”.
Namun demikian, menurut dualisme cartesian atau idealisme metafisik
kedua hal ini tidak bertentangan. Anton
Bakker SJ dalam bukunya Antropologi
Metafisik mengatakan, “Keduanya tidak saling bertentangan, melainkan saling
memuat dan saling mengkonstitusikan.
Jikalau entah subyektivitas atau obyektivitas berstatus kurang, maka
seluruh pengertian dan penghendakan berkurang pula.”[2] Artinya baik obyektivitas maupun
subyektivitas bukanlah suatu hal yang saling bertentangan melainkan dua hal
yang berbeda hakikatnya. Hal yang serupa
juga diutarakan oleh Budi Munawar Rachman, “Dengan
demikian, objektivitas dan subjektivitas bukanlah dua entitas yang saling bertentangan, misalnya secara psikologis.
Namun, keduanya merupakan dialektika yang berjalan konstan dalam diri manusia,..”[3]
Memahami lebih jauh mengenai subyektivitas, James Rachel
mengatakan bahwa pemikiran dasar di balik subyektivitas adalah suatu gagasan
bahwa pendapat-pendapat moral didasarkan pada perasaan-perasaan. “Orang mempunyai pandangan yang berbeda-beda,
tetapi dimana ada perkara moral, di situ “fakta” tidak ada dan tak seorangpun
benar. Orang-orang mempunyai perasaan
berbeda begitu saja, dan itulah akhir dari perkaranya.”[4] Masing-masing orang memiliki penilaian yang
berbeda-beda tentang suatu kejadian.
Penilaian itu didasarkan pada setuju atau tidak setuju, suka atau tidak
suka. Masalah setuju atau tidak setuju
inilah yang dinamakan subyektivitas. “Kalau
seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik atau buruk secara moral, itu
berarti bahwa ia menyetujui atau tidak
menyetujui hal itu, dan tak lebih dari ini.”[5]
Subyektivitas tidak dapat menerangkan keadaan real karena
hal itu menyangkut pengalaman pribadi atau perasaan sendiri yang hanya dialami
oleh seseorang itu. Sedangkan
objektivitas merupakan suatu keadaan real yang disertai dengan fakta dan bukti-bukti
yang dapat dinilai secara empiris. Pengetahuan yang benar disebut objektif. Pengetahuan
bersifat objektif kalau manusia membiarkan kenyataan menyatakan diri. "Membiarkan
kenyataan menyatakan
diri" tidak berarti bahwa subjek pasif saja.[6]
|
|
DAFTAR PUSTAKA
Anton Bakker, Antropologi Metafisik, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2006)
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: wacana kesetaraan kaum
beriman, (TKT: Srigunting, 2004)
By
Adelbert Snijders, Seri Pustaka Filsafat Manusia dan Kebenaran,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006)
James Rachel, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2004)
OL: http://husainassadi.blogspot.com/2008/04/objektivitas-dan-subjektivitas.html, diakses tgl 6 september 2014
[1]OL: http://husainassadi.blogspot.com/2008/04/objektivitas-dan-subjektivitas.html, diakses tgl 6 september 2014
[2] Anton Bakker, Antropologi Metafisik, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), hlm.
182.
[3] Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: wacana kesetaraan kaum
beriman, (TKT: Srigunting, 2004), hlm 509.
[4] James Rachel, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 72.
[5] Ibid., hlm. 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar