Kamis, 06 November 2014

PENDERITAAN ANAK ASRAMA LEBIH BAHAGIA DARI ANAK KOS-KOSAN

Seperti disambar petir ketika saya dan teman-teman mulai memasuki area asrama itu. Sepi dan tampak kejam.  Hanya sebagian orang yang terlihat ramah menyambut kami dengan senyuman.
Setiap kamar telah disediakan ranjang susun dengan penghuni kamar lebih dari satu.
"Wuihh.. kita bakal tinggal di penjara seperti ini?" Kata seorang temanku.
Saya hanya terdiam sambil merenungi nasib yang akan kutempuh selama 5 tahun di tempat ini nanti.

Seminggu kemudian,
"Anda mau pamer kecantikkan di sini? Atau apa yang ingin kamu banggakan? Di sini kamu dibentuk menjadi hamba, bukan jadi ratu atau raja!"  Demikian kakak senior kami membentak saya pada OSPEK waktu itu.

Kami dipaksa mencium tanah, merangkak di lapangan, melakukan sesuatu yang teramat berat bagiku (masuk dalam kolam), jalan-jalan keliling kampung dengan wajah yang dicoreng-coreng dengan arang dan rambut yang dikucir 5 bagai pohon kelapa.

Ospek berakhir dengan acara api unggun.  Kami membakar semua atribut ospek kami. Sepatuku yang sudah seminggu tak dicuci cukup menebar keharuman yang tidak wajar alias bau tak sedap. tapi saya tetap ikut acara itu, pura-pura, seolah-olah sepatuku baik-baik saja.
BERAKHIRLAH DERITA MAHASISWA BARU


ANAK ASRAMA SANGAT MENJUNJUNG TINGGI PERSAUDARAAN
Sejak Ospek sampai kami kuliah, kami membangun hubungan kerjasama yang solid antara teman-teman seangkatanku.
Kami sering beradu pendapat di kelas, marah-marahan, tetapi setelah itu kami rukun lagi.
Kami menangis bersama, tertawa bersama, bergumul bersama, dan kadang kala kami harus meneteskan air mata saat ada teman kami yang harus keluar karena melanggar aturan.

Semua itu mengajarkan kami tentang arti saudara dalam sahabat.  Kami seangkatan bukanlah hanya sekedar teman, bukan sekedar sahabat, kami adalah saudara dalam kesukaran.  Suatu saat, teman kami harus pulang ke kampung halaman karena kepergian Ibundanya tercinta, kami mengumpulkan uang dari ketidaan kami. Kami memberi dari kekurangan kami.

Saya (EM) juga pernah sakit, waktu itu perekonomian keluarga saya sangat hancur.  selama setahun keluarga tidak pernah mengirimkan uang saku. Dan teman-teman mengumpulkan uang untuk membawa saya ke rumah sakit. Mereka memberi dengan sukacita meskipun itu adalah uang terakhir mereka.  Meskipun jumlahnya tidak seberapa, 3ribu-5ribu rupiah. Tetapi semua itu dilakukan dengan ketulusan.

Di asrama, kami tak pernah kelaparan (*lapar dengan kelaparan beda ya. Kalau lapar itu wajar. Tapi kalau kelaparan, itu karena frekuensi makan tidak seperti biasanya).
Selalu berkecukupan meskipun tidak pernah sangat berlebihan.

Inilah alasan Anda harus bersyukur tinggal di asrama, karena hidup di kos-kosan belum tentu sekarib di asrama.
Tinggal sekarang bagaimana Anda menjalaninya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar